
Ketika diriku bukan siapa-siapa, ketika diriku tidak di mana-mana, dan ketika diriku bukan apa-apa. Kedamaian itu selalu menyelimuti diriku, kebahagiaan itu selalu menemaniku, keceriaan itu selalu memagariku, keimanan itu selalu menuntunku, di kala sedih, di kala sakit, di kala sepi, di kala bahagia, di kala bencana, di kala lupa, di kala merintih pedih. Namun kemana sekarang ? Semua meninggalkanku. Yang ada tinggal, kerakusan, keserakahan, kepuasan, kebencian, ke-iri-an, kedholiman. Sudah lama aku benci kepada diriku sendiri yang kehilangan jati diri. Sudah lama aku tak mengenal diriku sendiri, namaku, anakku, istriku, ayahku, ibuku, asalku. Yang sering kuingat hanya diskotik dengan sajian minumannya, wanita cantik dengan ranjang pelayanannya, mobil mewah dengan kenyamanannya, melihat musuh jika jatuh dari karirnya. Dan malam ini.
Kucumbu lagi dengan rembulan itu, seperti dulu. Ketika aku hanya anak desa penggembala kerbau. Hanya modal cambuk dan seruling, seruling yang selalu meniupkan melodi kesederhanaan. Meniupkan harmoni kejujuran. Menyenandungkan nyanyian kedamaian. Aku hanya seorang buruh penggembala, tidak pernah punya kerbaunya. Saat ini, ketika aku mampu membeli kerbau sebanyak mungkin, tapi kenapa aku tak mampu menggembalakan diriku sendiri ? Telah lama aku makan hak-hak rakyat kecil, merampas hak-hak orang lain, menipu teman seiring, menggunting dalam lipatan, semuanya jadi samar antara yang hak dan yang batil. Dulu ketika anak-anak, rembulan itu hampir selalu kulihat setiap malam, ketika aku pergi mengaji di rumah mbah Rohani. Dulu rembulan itu selalu kupandangi, ketika ronda di desa. Malam ini aku ingin menikmati wajahnya sepuas-puasnya.

Tak tahulah. Dan barangkalai ngenthit kerbau terlalu besar, dan gampang ketahuan. Tapi memang tak terbersit sedikitpun untuk melakukan curang. Sedangkan juraganku, pak Paimo juga orang yang jujur. Sebagaimana orang desa pada umumnya, saya diperlakukan seperti anaknya sendiri. Dan walaupun aku tidak sekolah, saya belajar membaca dan berhitung sama anak pak Paimo, Munali. Karena Munali sangat senang naik ke punggung kerbau, dan sebagai gantinya saya diajari membaca dan menulis.
Jika ingin lebih lengkap Download Disini
Karya Drs. Parngadi Katmo [Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 9 Gondanglegi]
0 komentar:
Posting Komentar