Selasa, 14 Desember 2010

Aku Di Persimpangan [Cerpen Kepala Sekolah]

Siapa yang tak ingin menikmati bintang, kala langit jernih ? Bintang-bintang bertaburan di seluruh ujung langit seperti dulu. Yang hampir bisa kunikmati setiap malam. Setiap sudut langit adalah taburan cahaya dengan kerlap-kerlip bintang, seperti kerlingan Dewi Kejora. Rembulan masih tersenyum mesra seperti dulu. Rembulan itu juga tersenyum lepas, bagaikan kekasih hati sewindu tidak ketemu. Aku ternyata sudah sangat rindu pada senyuman itu. Senyuman tanpa pamrih, tanpa batas keinginan dan kemauan. Malam ini kita ketemu lagi, dengan gelora cinta tanpa kemunafikan. Setelah nafsu dan keangkuhan selalu menjajahku. Setelah keinginan dan kemauan mengisi jiwaku. Setelah hariku tertindas oleh keserakahan, kerakusan. Malam ini rembulan itu ingin kulukis kembali dalam diriku, yang akan kunikmati di kala kesunyian mendera. Di kala sepi menguasahi hati. Di kala bahagia menjelma tanpa kata. Seperti dulu. Ya, seperti dulu.

Ketika diriku bukan siapa-siapa, ketika diriku tidak di mana-mana, dan ketika diriku bukan apa-apa. Kedamaian itu selalu menyelimuti diriku, kebahagiaan itu selalu menemaniku, keceriaan itu selalu memagariku, keimanan itu selalu menuntunku, di kala sedih, di kala sakit, di kala sepi, di kala bahagia, di kala bencana, di kala lupa, di kala merintih pedih. Namun kemana sekarang ? Semua meninggalkanku. Yang ada tinggal, kerakusan, keserakahan, kepuasan, kebencian, ke-iri-an, kedholiman. Sudah lama aku benci kepada diriku sendiri yang kehilangan jati diri. Sudah lama aku tak mengenal diriku sendiri, namaku, anakku, istriku, ayahku, ibuku, asalku. Yang sering kuingat hanya diskotik dengan sajian minumannya, wanita cantik dengan ranjang pelayanannya, mobil mewah dengan kenyamanannya, melihat musuh jika jatuh dari karirnya. Dan malam ini.

Kucumbu lagi dengan rembulan itu, seperti dulu. Ketika aku hanya anak desa penggembala kerbau. Hanya modal cambuk dan seruling, seruling yang selalu meniupkan melodi kesederhanaan. Meniupkan harmoni kejujuran. Menyenandungkan nyanyian kedamaian. Aku hanya seorang buruh penggembala, tidak pernah punya kerbaunya. Saat ini, ketika aku mampu membeli kerbau sebanyak mungkin, tapi kenapa aku tak mampu menggembalakan diriku sendiri ? Telah lama aku makan hak-hak rakyat kecil, merampas hak-hak orang lain, menipu teman seiring, menggunting dalam lipatan, semuanya jadi samar antara yang hak dan yang batil. Dulu ketika anak-anak, rembulan itu hampir selalu kulihat setiap malam, ketika aku pergi mengaji di rumah mbah Rohani. Dulu rembulan itu selalu kupandangi, ketika ronda di desa. Malam ini aku ingin menikmati wajahnya sepuas-puasnya.

***


Kisah tentang aku. Menurut catatan di belakang almari, namaku adalah Wariso. Lahir pada hari Rabu Wage. Neton-nya kalau tidak salah tiga belas. Kalau tahun Masehi tepatnya, empat belas agustus tahun sembilan belas tujuh delapan. Masa kecil hidupku di sekitar kerbau, mencari rumput, menggembala, dan memandikan kerbau. Jadi buruh jujur yang tak pernah tahu apa korupsi, ngakali, ngenthit atau sejenisnya. Atau memang tidak ada barang yang bisa enthit.

Tak tahulah. Dan barangkalai ngenthit kerbau terlalu besar, dan gampang ketahuan. Tapi memang tak terbersit sedikitpun untuk melakukan curang. Sedangkan juraganku, pak Paimo juga orang yang jujur. Sebagaimana orang desa pada umumnya, saya diperlakukan seperti anaknya sendiri. Dan walaupun aku tidak sekolah, saya belajar membaca dan berhitung sama anak pak Paimo, Munali. Karena Munali sangat senang naik ke punggung kerbau, dan sebagai gantinya saya diajari membaca dan menulis.

Jika ingin lebih lengkap Download Disini

Karya Drs. Parngadi Katmo [Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 9 Gondanglegi]

0 komentar:

Posting Komentar

 

Join Us


Statistik

Copyright 2010-2011 © SMP Muhammadiyah 9 Gondanglegi